Jumat, 17 Agustus 2012

Hikmah Membaca Novel


Novel tak hanya menghibur, jadi bacaan dikala senggang, bahkan teman dikala insomnia menyerang. Banyak hal yang dipelajari tentang berempati, memahami perasaan tokoh, mengagumi detil cerita yang membawa pembaca ke suatu tempat yang belum pernah dikunjungi. Kadang informatif. Berikit ini beberapa hikmah yang saya tulis sebagai hasil interpretasi pribadi setelah membaca novel. Tidak semuanya merupakan hasil cerna bijaksana sesuai maksud penulisnya. Malah mungkin terkesan konyol, pragmatis, membuat kesal sang penulis karena pesan tersirat dalam karyanya tidak sampai ke otak saya dengan benar. Silakan menyimak.
  • ·         Alkhemis. Novel karya Paulo Coelho. Bercerita tentang pemuda yang berkelana ke negeri-negeri jauh, bertemu dengan orang yang dapat mengubah apapun menjadi emas. Pada ujung cerita menemukan harta karun di bawah sebuah pohon justru di halaman rumahnya sendiri. Hikmah: (versi positif) pengalaman selama merantau menambah wawasan, orang-orang menarik dan kebijakan hidup, (versi negatif) sebelum pergi jauh-jauh dari rumah untuk berkelana, hidup sejahtera pun belum tentu, galilah halaman rumah Anda, siapa tahu ada harta karun terpendam yang membuat kita berkeliling dunia dalam rangka tamasya, bukan berkelana. Walau sama dalam arti bepergian, ada perbedaan mendasar antara tamasya dan berkelana. Yang pertama menghabiskan uang, yang kedua putus asa di tempat asal karena tak punya uang, haha.. :P
  • ·         5 cm. Ditulis oleh seorang pria yang mengaku berwajah ABRI berhati Barbie, Donny Dhirgantara. Hikmah: kalau kamu punya cita-cita, keinginan apapun, gantungkan ia sejauh 5 cm di depan kening kamu. Kemanapun kamu pergi, cita-cita itu ada di depan muka kamu, hanya berjarak 5 cm. Kejarlah ia.
  • ·         Surat Kecil untuk Tuhan. Diangkat ke layar lebar dengan judul sama yang diangkat dari kisah nyata perjuangan seorang gadis cilik melawan kanker ganas yang merusak seluruh wajah cantiknya. Air mata mengalir deras saat saya membaca novel ini. Saya kagum bahwa saat kanker telah menyebar hingga ke otaknya, ia masih berusaha menempuh ujian nasional, bahkan meraih nilai terbaik kedua di sekolahnya. Selama sakit ia gemar membaca ilmu-ilmu kedokteran berkaitan dengan sakitnya. Dengan kesehatan yang jauh lebih baik, saya jadi terpacu untuk juga membaca lebih banyak, semoga saya bisa belajar lebih banyak pula. Karena pesannya, ia tak mau membiarkan otaknya yang sakit kosong tanpa isi.
  • ·         PS. I Love You. Diangkat ke dalam film drama komedi berjudul sama. Berkisah tentang pasangan muda yang bahagia, yang harus terpisah karena kematian sang suami akibat derita kanker. Suami yang menyadari kepergiannya yang tak lama lagi, memilih untuk tetap mendampingi sang istri dengan mengatur surat yang dikirim setiap bulan setelah ia meninggal. Dalam setiap surat ada perintah yang wajib dilaksanakan oleh si istri. Mulai dari menyingkirkan barang-barang suami tercinta, menghadiahi diri sendiri dengan membeli gaun baru, mencari pekerjaan, hingga menemukan seorang pengganti. Hikmah: Hidup tetap harus berlanjut walau separuh jiwa kita telah pergi membawa cinta kita.
  • ·         Aku, Kau dan Sepucuk Angpau Merah. Penulis: Tere Liye. Hikmah: jangan menunda membuka amplop begitu menerimanya dari seseorang. Apalagi amplop merah alias angpau. Jangan-jangan isinya bukan seperti yang kita harapkan.
  • ·         Daun Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Karya Tere Liye. Hikmah: Jangan suka berpura-pura menjadi kakak adik. Pas datang waktunya jatuh cinta pada kakak angkat malah jadi bingung sendiri bagaimana menyatakannya. Eits, saya perlu yakinkan novel ini tak hanya sedangkal itu, karena itu bacalah. Tere Liye tak pernah membuat novel yang biasa J
  • ·         Nada-nada Sunyi. Tentang cally, gadis cilik yang tiba-tiba tidak mau bicara semenjak berusia 4 tahun. Ada peristiwa traumatis yang dialami sehingga ia menderita mutisme selektif (suatu gangguan psikologis dimana seseorang “tidak bisa” berbicara tanpa halangan fisik, baik pendengaran, organ wicara, dan otak) selama beberapa tahun. Hikmah: bersabarlah saat anak menangis. Jangan berbicara kasar yang membuat anak menjadi trauma.
  • ·         Daniel isn’t talk. (Danile belum bisa bicara). Tentang perjuangan, kasih sayang ibu yang memiliki anak penderita autisme yang belum juga mengucapkan sepatah kata walau sudah berusia 3 tahun. Novel ini sangat informatif. Mulai dari perilaku anak-anak autis, makanan apa yang sebaiknya tidak dikonsumsi, bahkan detil kesabaran ibu mengajarkan toilet training, melatih bicara. Luar biasa. Tanpa perlu banyak mengerutkan kening, novel ini bahkan mampu membuat saya tersenyum oleh humor-humor segar, juga dibungkus kisah cinta nan romantis.
  • ·         Perahu Kertas. Penulis: Dewi Lestari. Wah, yakin novel ini bakal lebih booming setelah filmnya ditayangkan tidak lama lagi. So, ayo buruan baca biar bisa ga ketinggalan cerita. Berikan novel ini kepada orang tua kalau mereka memaksa kalian masuk ke jurusan kuliah yang tidak kamu minati.


Dua novel Donny


... kamu sekarang perempuan, Gus, bukan anak kecil.
“...... banyak yang akan kamu hadapi di depan nanti, Gus, ingat kamu perempuan, kalau kamu mau nangis, nangis aja,.. tapi kamu harus punya alasan kuat untuk itu, banyak perempuan menangis untuk sesuatu yang sia-sia, kamu perempuan Gus, kalau kamu mau nangis nangis aja,... tapi menangislah untuk sesuatu yang baik, bukan sesuatu yang sia-sia...”
“Kamu perempuan, Gus, Mama mau kamu kuat dan berani”
Ini penggalan nasihat  yang mama berikan kepada putrinya yang takut diejek, karena menolak membawa raket nyamuk ke lapangan saat berlatih bulutangkis. Lhoo kok..??!!! Jadi bukan nasihat kepada remaja galau akibat diputusin pacarnya karena berselingkuh? Wah, salah besar kalau Anda sempat mengira ini bagian dari novel romantis seperti itu. Apalagi novel dewasa tentang istri yang dikhianati suami, mendapat nasihat ibu saat pulang kembali ke rumahnya. Itupun setelah menyanyikan lagu Betharia Sonata “pulangkan saja aku pada ibuku...”.
Tidak, sama sekali bukan. Tidak ada remaja galau karena putus cinta, tidak ada pengkhianatan dalam rumah tangga, karena ini adalah cerita tentang keluarga yang penuh cinta.
Dengan gaya tutur yang kocak dan humor yang “berlebihan...” sepanjang novel membuat kita senyum-senyum bahkan cekikikan sendiri dari awal halaman, benar-benar menghibur. Tanpa kehilangan pesan-pesan berharga. Tentang optimisme, kasih sayang dalam keluarga, nasionalisme dan semangat mengejar impian. Termasuk impian menurunkan berat badan. Yup, tokoh utamanya memang berbadan luar biasa berat. Pada akhirnya berat badan ideal bukan menjadi akhir cerita bahagia dari kisah yang disajikan. DUA tak menampilkan bulutangkis sebagai terapi si berat mengurangi bobot tubuh, bahkan merupakan perjuangan hidup.
Sayangnya di tengah-tengah novel hingga menjelang akhir saya jenuh dengan adegan-adegan pertandingan bulutangkis yang begitu panjang dan menjemukan. Namun saya tetap menangkap pesan optimisme itu di seluruh bagian cerita. Apalagi di tengah kerinduan akan bulutangkis yang pernah begitu berjaya di negeri ini.
NB: Mari membaca J







no money

Betapa sepi ini membosankan. Parahnya, nafsu makan justru meningkat seiring intensitas kebosanan yang semakin tinggi. Aku memang menyukai kost ini. Relatif sepi, anak kost cuma ada tiga orang. Interaksi antara kami jarang sekali. Saat ini tak ada penghuni lain, hanya aku seorang. Aku ingin makan lagi. Ooh padahal sudah makan dua kali hari ini. Soto di siang hari, nasi komplit sore tadi. Uang sudah habis 17 ribet (baca: ribu, haha). Istilah yang kudapat hari ini dari Joe.

Berapa si umurnya??


Berapa sih umurnya?
“ah, malu.”
“Kok malu sih. Emang berapa? 22 ya
“Ehm... sebenarnya tahun ini, akhir Oktober aku 30.”
“Haa.. masa’ sih? Gak keliatan setua itu. Eh, maaf. Maksudku kamu seperti anak kuliahan semester 4”
“Ya emang, aku juga kan sedang kuliah semester 4, S2. Hahaha...” Tapi kalau dibilang mukaku awet muda sih, sebenarnya gak juga. Nih liat KTM-ku. Ini pake pas foto persis seperti foto ijazah S1 dulu. Beda kan dengan sekarang? Sekarang ni, kalau aku gak senyum, tetap ada tuh garis senyum di daerah sini (sambil menunjuk seputar bibir). Ya ibaratnya mirip kertas yang dilipat, trus dibuka lagi. Bekas garis lipatannya tetap keliatan kan?
“ Hehe tapi kamu manis kok. Sering-sering aja senyum”
“wah, ngerayu ya?”
“Hahaha... GR kamu”
“Gantian dong umurmu berapa?”
“Hari ini aku genap 28 tahun”
“Oh, kukira 35-an, hahah.. sory”
“Iya, aku tau. Banyak yang bilang mukaku boros (sambil pasang muka serius)”
“Yee... kok?? Aduh, maaf jangan diambil hati ucapanku tadi ya” Menurutku bukan boros sih, tapi... muka  (pura-pura berpikir) bijaksana. Ya.. itu lebih tepat” (melirik jail)
“Kamu balas ngerayu ya? (balas senyum nakal)
“Hahaha...
(Keduanya tertawa)
“Wah, ntr lagi landing ya.. Sebelum kita pisah boleh dong aku minta no HP mu?”
“Hehe.. sory, bukannya aku gak percaya kamu nih. Tapi aku trauma nyebarin no kontak sembarangan”
“Jadi aku juga orang sembarangan?”
“Mm.. salah satu ciri orang sembarangan itu suka buang sampah sembarangan”
“Aah.. masih becanda aja kamu. Aku serius”
“mm... nih, alamat akun FB ku. Kamu add aja”
“Jadi,..tetap gak mau kasih no HP nih? Oke, ntr aku add deh”

Jenuh Ber-Facebook



Pertama kali saya mempunyai akun facebook sekitar awal 2009. Teman-teman kos sudah lebih dulu punya akun jejaring ini. Saya waktu itu tidak tahu seperti apa tampilan FB. Saya sudah nyaman berinternet dengan browsing, akun yahoomail untuk menunjang komunikasi, saya juga sempat mengikuti tren Friendster. Masa-masa sebelum FB menjadi keharusan, karena setelah nomor telepon genggam, orang akan bertanya nama akun FB, saya juga gemar chatting dengan banyak anonim via MIRC. Senang ternyata bisa ngobrol dengan siapapun di sana, poin bagi diri sendiri bahwa sebenarnya saya bisa juga nyambung diajak bicara dengan orang lain, begitu pikir saya. Tapi seperti kebanyakan chatter memanfaatkan sarana ini untuk mencari kenalan lawan jenis, saya yang lebih senang menyebutkan umur sebenarnya menemukan jumlah partner chat jauh menurun ketika menginjak usia 25, ditambah keraguan sebagian besar mereka tentang status lajang saya, maka saya pun insaf dari aktivitas buang waktu ini.
Bukannya menceritakan tentang kelebihan menemukan pertemanan, setiap pulang dari warnet teman-teman kos saya malah menceritakan serunya ber-facebook karena banyak kuis yang “lucu” di sana. Waktu itu memang banyak kuis-kuis aneh mirip kuis di majalah-majalah remaja putri. Misalnya kapan usia kita menikah, nama kita versi Jepang, mencari tahu karakter kita dengan menjawab pertanyaan yang tidak kalah konyol seperti  jenis makanan favorit  dan pilihan tempat wisata. Ada juga kuis apakah pacar kita sekarang adalah calon pendamping kita kelak, bagi yang belum mempunyai pacar bisa juga mencari tahu adakah kemungkinan salah seorang dalam daftar pertemanan kita diam-diam sedang naksir kita dan kelak menjadi kekasih yang kita nantikan selama ini. Nah, setelah sistem kuis menghitung skor dengan parameter antah-berantah itu, hasil kuis pun keluar dan kita bisa share di wall agar semua orang membacanya. Kuis-kuis ini memang dibuat untuk tujuan have fun, alias senang-senang.
Pertama punya FB, saya senang menambah teman. Terutama mereka yang pernah melalui sejarah yang sama dengan saya. Entah itu dari sekolah yang sama, kota asal yang sama, teman-teman kos semasa kuliah yang kini sulit berjumpa, teman-teman se-almamater yang bahkan saat kami masih berstatus mahasiswa dulu tidak akrab. Maklum, saya relatif pendiam. Rasanya bangga saat jumlah teman melewati angka 100. Rasa senang yang mirip saat daftar kontak di hand phone mencapai angka 100 sampai saya menyadari orang-orang yang rutin saya kontak kurang dari 10 nama, beberapa saya kontak untuk suatu keperluan, sisanya menjadi hadiah jika mereka mengirim sms selamat lebaran setiap tahun. Kali ini rasa sepi pun datang. Tak banyak obrolan dengan teman yang dulu pernah akrab lewat sarana chat di FB jika kami kebetulan sama-sama online, terkadang tak ada sama sekali. Dulu sih, saya cukup norak dengan menyapa semua teman yang online, karena berpikir bukankah ini kebetulan saat kemungkinan bertatap muka dan berbincang sangat kecil kita justru dipertemukan di dunia maya. Ternyata saya salah. Saling berkomentar status, saling like bukan berarti kita akan mengobrol. Seorang teman satu sekolah yang pernah saya sukai diam-diam semasa SMP bahkan tidak mengenali saya. Dia bertanya di mana saya mengenalnya saat kami chat. Omigod!!! Menutupi rasa malu, saya bersyukur dia tidak lagi setampan saat berusia 14, tak mungkin saya menyukai dia di usia sekarang, selain dia memang tak lagi single. Hehe.. :P
Facebook yang memungkinkan kita berbagi cerita, foto, video belakangan membuatnya terasa sesak. Itu belum tautan berita, iklan, pemberitahuan si A sudah mencapai level tertinggi dari game yang baru dimainkan, juga curhatan puisi-puisi galau, status alay teman-teman diusia pubertas awal. Saya jenuh. Bukan, bukan karena semua isi status buruk. Terlalu banyak informasi dengan keragaman tingkat tinggi membuat saya pusing. Otak saya tak sempat menyimpan makna sehabis membuka laman FB. Beralih ke situs jejaring lain, saya belum tertarik. Tapi untuk memutuskan hubungan sama sekali dengan FB juga seperti tak rela. Barangkali saya kangen melihat kabar teman-teman lama? Sementara ini saya absen memperbarui status, serta tidak menambah teman baru yang berpotensi menambah ruwetnya isi dinding saya.