Sms masuk. Kulihat nomor itu. Deg! Ini nomor hand phone
Boni. Bagaimana mungkin aku lupa, selama 4 tahun hubungan kita aku bahkan
mengingatnya di luar kepalaku.
“Minal Aidin wal Faidzin. Mohon maaf lahir batin. Maafin gw
ya. Gw banyak salah ma loe. Padahal loe ikhlas banget ma gw.”
Sontak wajahku panas. Mataku memerah. Aku yang
menghindarimu. Aku berhenti menghubungimu. Menghapus kontak BBM, menghapus
nomormu di HP ku meski aku tak bisa lupa. Tak lagi mengirim SMS. Sudah setahun.
Pelarianku rapi, ini berhasil. Kau pun seolah paham. Tak ada lagi SMS, atau
telpon masuk. Aku mendapatkan pacar baru. Seorang yang lebih dekat. Meskipun
sejujurnya aku mulai berhenti menghubungimu karena dia pencemburu. Dia
memergokiku membalas BBM mu. Dan itu kali kedua. Dia sangat marah. Dan aku tak
kuasa melihat wajah murkanya. Aku tak ingin kehilangan dia. Aku ingin dia tetap
di sisiku.
“Maaf lahir batin. Baik-baik ya. Hehe”. Balasku singkat.
“Dian apa kabar? Sudah punya pasangan belum?”
Ah, klise. Kalau sudah apa dia senang? Kalau belum apa dia
ingin kembali?
“Baik. Masih cantik kayak di facebook.” Aku berusaha
bercanda.
“Dian sudah nikah belum?” Rupanya dia masih mengejar
pertanyaan itu.
Tuuut.Tuuuut. Itu nomormu yang menelpon. Tak kuangkat. Aku
sudah menangis tanpa suara. Dan aku tak ingin meledak saat bicara denganmu.
“Dian, gw pengen nelpon. Gw kangen dengar suara loe”
“Gw juga kadang kangen ma loe. Tapi kita kemarin bareng dah
lama banget. Dan jalan kita sama sekali gak keliatan”
Tuut. Tuut.
Aku terus gelisah. Hampir setengah satu malam. Aku
memutuskan balik menelponnya. Tentu setelah berusaha menenangkan diri.
“Ada apa?” Suaranya lirih. Suara ini yang dulu menenangkanku
saat dalam masalah.
“Gak ada apa-apa”. Jawabku tak jelas.
“Kangen ya ma gw?”
“Gak”
“Alaah, gak ngaku lagi hehe” aku tau dia sedang tersenyum
mengejek, merasa menangan.
“loe udah nikah belum?” tanyanya pelan
“Belum”
“Kenapa belum nikah?”
(brengsek! Ucapku dalam hati. Kuharap ia mendengarnya)
“Gak tau”, sahutku seketus mungkin.
“Iya, gw yang salah. Gw gak romantis”
“Bukan itu masalahnya. Harusnya dari dulu dian tahu boni
memang gak pengen nikah”
“Gw pengen. Pengen banget malah. Tapi loe kan tau gw
begini.”
(Stop, please. Perdebatan ini sudah lama. Aku tidak ingin
memulainya lagi).
“Nikahlah. Kalau loe nikah, gw bahagia banget.”
Aku tak tahan lagi. Aku tak bisa menyembunyikan suara
parauku. Betapa pun aku menyembunyikannya.
Aku mengalihkan pembicaraan. “Oya nunung dah punya anak”.
“Wah, kamu dah punya ponakan dong”
Kali ini tangisku meledak. Aku tak bisa menyembunyikannya.
Aku rindu. Cintaku habis untukmu.
“Kenapa loe nangis?”. Dengan suara menenangkannya lagi.
“Boni,jangan telpon dian lagi”
“Apa? Jangan telpon dian lagi? Iya. Yang penting dian
baik-baik aja ya.”
(Kamu
juga. Baik-baik sayang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar