Pernah kah kalian menemukan benda berharga jatuh di jalan? Dompet? HP? Uang? Mungkin pernah. Aku beberapa kali menemukan uang di jalan. Mulai recehan seratus perak, ya paling untung si cuma lima ribu hehe.
Pecahan lima ribu yang pernah kutemukan punya cerita sendiri. Waktu itu KKL sewaktu aku kuliah dulu. Tiap kelompok kami ditemani seorang dosen sebagai pembimbing. Sewaktu melakukan pengukuran di lapangan, kalau nggak salah profiling. Kalian yang jurusan geografi atau geodesi, pokoknya yang pernah mendapat mata kuliah pengukuran tanah atau pemetaan pasti ngerti deh. Nah, ada uang lima ribu terbang melayang rendah tertiup angin di jalan yang kami ukur. Entah kenapa, aku orang pertama yang jeli. Wah, jadi ketahuan ya dulu gak konsen ke pengukurannya? Sampai Pak Dosen pun tau, Dia bilang, wah pengalaman ini gak bakal bisa kamu lupa seumur hidup. Iya si, sampai sekarang aku gak pernah lupa pernah dapat uang itu.
Bagaimana kalo jumlah uang yang tercecer di jalan itu pecahan rupiah berwarna biru alias 50.000? Pasti belum semenit udah ada yang ambil deh. Zaman sekarang uang recehan sering dianggap ga ada artinya. Jadi terkadang walau uang itu jelas cecer di jalan, orang-orang yang lewat ngebiarin aja uang itu tergeletak. Pada malu kali ya? Uang seratus perak aja dipungut. Padahal 1 juta kalo kurang 100 juga ga genap sejuta tuh. Aku si cuek-cuek aja mungut uang receh yang jatuh di jalan. Ya lumayan buat genapin belanja di warung atau toko-toko kecil yang masih mengenal ratusan rupiah. Atau buat kasih ke pengamen, hehe. Pelit ya? Ya, di Solo kan lima ratus masih berarti juga buat genapin ongkos bus yang dua ribu lima ratus. Atau kalau enggak ya buat beli jajan anak SD macam gery chocolatos hihi. Atau buat nambah lauk tempe goreng sepotong di warung Mbak Nur tempat aku tiap hari makan. Tapi aku ga segitu teganya belanja di warung cuma 500 perak lah.
Bicara tentang uang-uang recehan, aku pernah melihat seorang datang ke warung dekat kost. Waktu itu aku kost di jogja. Ia menukarkan recehan yang dimilikinya dengan uang kartal alias uang kertas. Herannya, terjadi tawar-menawar sewaktu penukaran dilakukan. Sepertinya pemilik warung keberatan atas nilai yang diminta si penukar. Wah, itu artinya kan si penukar receh menjual uangnya kepada pemilik warung. Padahal uang receh itu dipakai pemilik warung sebagai kembalian belanjaan pembeli. Sejak itu terkadang aku curiga dengan para pengemis dan pengamen jalanan yang mengharap receh lalu ditukar dengan nilai uang yang lebih besar karena memanfaatkan kelangkaan uang kembalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar