Bagi yang
telah mengenal Tere Liye lewat karya-karyanya (Hapalan Shalat Delisa, Ayahku
Bukan Pembohong, Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, Bidadari-bidadari
Surga), tentu segera saja penasaran apa lagi yang dia kisahkan kali ini. Kisah
penuh makna dalam kesederhanaan hidup keluarga yang penuh kasih sayang telah
menjadi ciri khas Tere Liye selalu muncul di semua novelnya. Bagaimana pula tentang cinta?
Kali ini
kisah cinta muncul dengan latar belakang kota Pontianak. Di halaman-halaman
awal, bagi mereka yang telah mengenal kota ini dengan akrab, kita seakan dibawa
melihat keindahan kota dari tepian Kapuas, kerlip lampu dari rumah-rumah
penduduk, perahu dan kapal di malam hari, mencium bau pabrik karet yang dulu
pernah berjaya, melihat gedung-gedung kotak sarang walet lengkap dengan denging
suara CD pemutar musik pemanggil burung penghasil liur termahal di dunia yang
kini banyak dibudidayakan di Kalimantan Barat. Kita juga diajak beranjangsana
berkunjung ke Tugu Khatulistiwa, bahkan hingga ke perbatasan Entikong-Tebedu
lalu mengunjungi Kuching, ibu kota negara bagian Serawak.
Mengangkat profesi
unik yang belum pernah diangkat novel manapun dari Borno, si tokoh utama yang
jatuh cinta pada seorang gadis peranakan Cina berwajah sendu. Tak hanya tentang
Borno dan si gadis yang menjadi sentral cerita, ada Pak Tua dengan
petuah-petuah bijaknya, Andi sahabat paling jail, juga Togar tokoh paling
sangar namun paling melankolis. Keragaman suku yang mewarnai masyarakat
Pontianak juga tergambar dari tokoh-tokoh yang berasal dari berbagai suku,
Borno yang Melayu asli, Togar anak Batak yang menikah dengan Unai gadis Dayak,
Andi yang dari Bugis, juga Koh Acong yang keturunan Cina.
Tak hanya
diajak merenung kembali tentang bentuk cinta serta persahabatan lewat petuah-petuah
Pak Tua, sering kita dibuat tersenyum dengan gurauan-gurauan khas daerah ini dari
para tokohnya, termasuk mungkin mengenang kata-kata unik yang dulu mungkin tidak
pernah kita pertanyakan mengapa demikian adanya (seperti kapal feri yang
disebut pelampung, asal kata sepit, bahkan mungkin nama Pontianak itu sendiri?)
Selamat
membaca J